Tutun...
Menjelang usia empat tahun, Desember nanti, nampaknya sosialisasi Ghiffari tidak lagi cuma seputar orang-orang terdekat. Sekarang sudah ada Arieq, Akbar, Febry, Rio, Dede, selain Zulfan dan Afiff. Dan nampaknya Arieq makin lengket dengan Ghiffari. Mungkin dikarenakan kesukaan yang sama, ya... Power Rangers.
Ranah imaji khas balita, membuat mereka asyik menjadi super-hero sesuka hati. Betah, hingga harus di jemput untuk makan siang, dan tentunya dengan sedikit paksaan serta adu argumentasi.
Selepas belajar di TKA/TPA tak langsung kembali kerumah guna bersalin Koko, justru Yayang yang harus menjemput tas dan peci. Sepeda dengan dua roda kecil sebagai penyangga siap dikayuh menuju lapangan Bulutangkis, tepat ditengah-tengah Kompleks Perumahan Sederhana. Mewarnai senja bersama anak-anak yang lain hingga RX-King Yayah melintas di jelang Maghrib pertanda usai, siap kembali ke rumah.
Komunikasi mereka kadang menyemburatkan keterkejutan pada kosa-kata yang pantas hanya untuk preman. Serapan yang mengkhawatirkan. Ketidak-setujuan Yayang memunculkan ketegasan, meski bukan terucap dari anak laki-laki kesayangannya sekalipun. Dampak pergaulan tetap terasa meski pada balita.
Alhamdulillah, kami punya "tutun", kosa-kata berkonotasi negatif yang dapat diterapkan pada semua kalimat negatif. Luas, lebih enak di dengar dan tidak menimbulkan sakit hati bagi yang mendengarkan, bahkan tidak jarang memancing tawa.
Teringat kala Ghiffari kesulitan mengeja huruf es pada kata susu di usia satu setengah tahunan. Saat menjelang tidur, dengan gaya bossy meminta sesegera mungkin susu formula tersaji dingin di botol (ya, mungkin cuma Ghiffari yang meminum susu formula dengan es batu, tersaji dingin di botol).
"Ma-Yah... tut-tuuuu". (Ia suka memanggail Maya untuk singkatan Mamah Yayah)
"Apa ? Su...su", aku coba membetulkan ucapannya.
"Tu..tu", usahanya tak berhasil, meski bibirnya telah coba berusaha berulang-kali.
"Tutu...tutu... Tutun kali", menggoda sebelum ngambeknya tiba memancing tangis (agak lama lho membuat es susu). Eh... malah ketawa.
"Tu...tun", ketawanya makin jadi.
"Hahaha..Tu..tun", ketawanya lebih dahulu dari ucapannya.
Sejak malam itu "tutun" menjadi bagian dari hidup kami hingga hari ini.
Guna menggoda, mengungkapkan jengkel, menilai sesuatu/seseorang jelek, payah, marah, sumpah-serapah, serta semua hal yang berkonatasi negatif, kini kami cukup dengan menyertakan kata "tutun". Dan kini tidak cuma kami sekeluarga yang memahami, keluarga Yayang dan aku juga sudah bisa menggoda Ghiffari dengan "tutun".
Aku pernah melihat di Sabtu pagi, sebuah Talk Show stasiun Televisi swasta yang membahas seputar bahasa negatif dari balita. Penyerapan kata-kata berkonotasi negatif -- dari yang jorok hingga yang terdengar kasar dan memuakkan -- lebih dimungkinkan didengar lewat kata-kata yang diucapkan oleh orang-tua mereka sendiri. Peran para orang-tua, juga orang-orang dewasa disekitar balita diharapkan hanya memperdengarkan kata-kata yang baik. Hindari mengucapkan kata-kata yang buruk didekat balita (Seperti orang-orang tua kita dahulu, yang hanya berantem dikamar). Demikian kesimpulan moderator di penghujung acara dengan menyisakan langkah efektif guna memperbaiki keterlanjuran bagi anak yang suka mengumpat, menyumpah-serapah.
Menurutku para orang-tua perlu juga menciptakan kata baru semisal "tutun" guna mengeliminir penggunaan kata-kata negatif yang beragam itu (kebun binatang, kelamin, kelainan dll). Apalagi jika diucapkan dengan intonasi dan ekspresi jenaka guna menghindari sakit-hati.
"Yah... Yah... Abang beli spider-man nih...ada lampunya... tuh bisa nyala..."
"Yah... Lihat deh Yah... Yah... Yaa.. Yaaaahh...."
"Abang Ai mah tutun deh... Beli mainan terus..."
Tuesday, September 28, 2004