Tembus Pandang
Dahulu. Jauh sebelum Yayang mengisi kekosongan hati ini dalam mengarungi sisa hidup. Ketika masih aktif meramu nada-nada lagu buah obsesi senja hari. Ada banyak kendala saat harus menulis lirik. Waktu itu banyak kata-kata berbicara mewakili nada-nada minor, meski saat itu aku tengah jatuh cinta pada nada-nada mayor.
Memang harus diakui kalau menulis lirik bukan spesialisku. Meski demikian, bila kegalauan hati menerpa, berbaris-baris bait sedih memancing isak tangis mengalir deras menghanyutkan.
Seperti sekarang ini, menulis di Blog sebagai sebuah representasi hati bak meracik nada-nada wujud sebuah lagu curahan hati, tidaklah persis sama seperti sepuluh tahun lalu. Meski banyak hal mampir di imaji, sebuah realitas personifikasi empati pada tiap-tiap kejadian, tetaplah tidak se-greget kala menampar hari, menjerit keras teriakan kalbu menempa kasih.
Aku tidak lagi semuda seperti sepuluh tahun yang lalu. Yang liar dalam imaji, namun beku dalam kasih. Yang gelap dalam terang. Sesat di hutan rambu. Menembus pandang langkah-langkah musafir haus jiwa beriring-iringan menuju oase kedamaian.
Kini. Aku belum mau tua, meski aku tahu bayanganku terus beranjak tinggalkan jejak muda. Sudah sampaikah aku pada sebuah oase dimana para musafir haus jiwa beriring-iringan menuju oase kedamaian ? Tinggal sehastakah ? Sedepakah ? ataukah aku masih butuh tumpangan ? Lamban perlahan mengejar jalan. Menengadah langit penuh bintang, kompas alam, seraya berharap tak lagi tersesat di hutan rambu.
"Yayah... Yayah...", Jihan menyentakku dengan senyum tawanya yang khas.
"Mana gigi gedenya...", tawaku menyambut seringainya.
Tuesday, September 14, 2004