ABOUT
Orang Biasa
Baihaqi 38 Tahun
Orang Biasa
1 Istri 3 Anak
Serpong Indonesia
Biasa aja...
bersahaja dalam keseharian
melaruti hari dengan harapan
mencoba menata asri
taman surga dihalaman hati
PREVIOUS POSTS
Obat "Kuat"
Kamu
Tutun...
Cita, Angan dan Harapan
Underline Buat Qky
Tembus Pandang
Kenapa sih ? Kok ngebom ?
Identitas
Angin Sorga
Cimahi-Dago Pelajaran Sebuah Kepedulian

ARCHIVES
March 2004
April 2004
May 2004
June 2004
July 2004
August 2004
September 2004
October 2004
November 2004
SHOUTBOX
SYNDICATE
RSS Atom

Subscribe with Bloglines
Pede
Ada yang menyesak di dalam dada, hati ini bagai di iris-iris, rasanya ingin sekali menumpahkan tangis. Melihat ke-tidak percayaan diri pada Ghiffari saat akan menghadiri ulang tahun Zulfan tetangga rumah, teman bermainnya.

"Tapi Yayah anterin", rajuknya.
"Ya... Tapi sampai depan aja, terus Abang Ai masuk sendiri ya ?", pintaku.
"Iya", ketidak yakinannya menggurat.

Kebetulan, Zulfan berdiri di depan pagar yang telah terbuka lebar, serta garasi yang telah berkarpet biru, seperti menanti (memang belum banyak yang datang, akan lebih mudah nih... pikirku). Seperti yang telah ku beritahu sebelumnya untuk pertama mengucap salam, lalu menjabat tangan Zulfan seraya mengucap Selamat Ulang Tahun, dan akhirnya memberikan kado.

Berhasil, semua berjalan sesuai harapan, dan nampak Zulfan tersenyum lebar saat menerima kado untuknya. Dengan girang Zulfan berlari masuk dengan tetap memegang kado terbawa, hingga lupa mengajak Ghiffari masuk.

"Yeeh... Si Zulfan, Abang Ai-nya suruh masuk dong !", Abdullah berseru dengan seringai-nya yang khas.
"Ajak temannya masuk, Zulfan", giliran kerabat-kerabat dekat Abdullah yang melingkari karpet biru tergelar meminta.

Zulfan berlari kembali seraya menarik tangan Ghiffari, mengajak masuk. Mendadak ke-tidak percayaan diri Ghiffari menampakkan kekhawatiran berlebih. Bagai hendak memasuki kandang singa, meronta dengan debar meretas hati, meminta kembali pulang.

Agak lama menumbuhkan senyum di teras depan. Suara tinggi Yayang tidak hanya mengganggu, hampir-hampir saja menggerung tangis Ghiffari dan raungan kemarahanku. Alhamdulillah, aku bisa tenang dan sabar, meski dihatiku muncul juga kesedihan dan marah akan sikapnya.

"Abang Ai kenapa ? Takut ?". Ia mengangguk, bola matanya menunduk.
"Abang ngga boleh takut. Kan ada Arieq, ada Faisal. Itu kan semua temen-temen Abang Ai, iya kan ?", tetap diam, namun guratan takut mulai sedikit sirna.
"Kan Zulfan temen Abang Ai juga ?".
"Masak Power Rangers takut. Udah Abang Ai sana, ngga pa-pa !".
"Ya.. tapi Yayah anterin. Yayah masuk temenin Abang Ai", harapnya.

Aku bisa saja menemaninya, tapi ku pikir lagi, ini ngga boleh. Ia harus bisa sendiri, Desember nanti usianya empat tahun, ia sudah besar pikirku. Sudah saatnya ia bisa sendiri.

Tak lama kemudian ia beranjak keluar. Perlahan mengayunkan keragu-raguan langkahnya. Tampak dari jauh Abdullah membawa stand-fan, boleh pinjam mertua (kebetulan satu kompleks), aku beranjak masuk, menghindari mood yang jelek buat ceng-cengaan --kami terbiasa ngelempar joke (ceng-cengan) masing-masing--, namun tetap lekat mata tertuju badan Ghiffari.

"Yo.. Abang Ai masuk", terdengar ajakan Abdullah.
"Ayo.. ama Papah Zulfan". Aku berharap Ghiffari mau.

Tak lebih dari setengah menit, keluar mengintip dari pagar guna mencari sosoknya. Alhamdulillah tak ada warna terang oranye, warna baju yang sempat ia protes meminta ganti dengan baju Power Rangers Wild Forces merah darah. Sudah saatnya ia harus bisa sendiri.

Anak laki-lakiku memang agak "takut orang" untuk di awal-awal keadaan dan peristiwa yang melibatkan banyak orang, lain dengan Jihan seratus delapan puluh derajat. Kalau menggunakan kemarahan untuk memperbaiki pede-nya justru malah membuatnya bingung, takut, dan sedih. Dan pasti bisa meledakkan tangisnya.

***

"Mama... Ma..", suara Ghiffari ter-distorsi pintu pagar bergeser.
"Abang Ai... Mama disini, di kamar depan", sahut Yayang bercampur girang. Anak laki-lakinya kembali dengan sebelumnya tetap pergi sendiri tanpa di temani oleh ia maupun aku.

Topi berkerucut, tertulis GHIFARI dengan spidol hitam. Tangan kanan menenteng paket ulang tahun Nasi-Ayam McD, dengan tangan lainnya memegang Balon berwarna pink serta sebungkus jajanan.

"Ma... Abang ikut Ulang Tahun Zulfan sendiri, ngga ditemenin Yayah", senyumnya melukis bangga.
"Arieq... Arieq... ditemenin Bunda Agus, Abang Ai ngga !!!". Senyum kami menenangkan seru riangnya.

Alhamdulillah, ia bisa datang sendiri. Mudah-mudahan ini sebagai modal awal pede-nya. Tak banyak nasihat, hanya pertanyaan-pertanyaan tentang keriuhan dan keriangan Ultah Zulfan di sela-sela nikmat melahap Nasi-Ayam McD --takut merusak nafsu makannya--.

"Udah habisin aja semua Bang...".
"Nggak mau... tinggalin dede Jihan". Haru kami menampar tangis di hati.

***
Ada artikel menarik mengenai hal ini, mungkin bisa membantu untuk kasus yang sama.
Monday, October 11, 2004 
2 comments




"Alhamdulillah, aku bisa tenang dan sabar, meski dihatiku muncul juga kesedihan dan marah akan sikapnya."

>>woy yang sabar beh, jangan galak2 dong beh.. ihikz anak saya laki-laki dua, dan dua2nya PD banget, ga takut orang.. kadang malah malu2in saking PD nya.. <<

semoga yayah yg 1 ini tetep sabar menghadapi sikap & tingkah laku anak²nya ;)
So... Pede aja lagi yah :P

Post a Comment  Home